Home »
Kisah Mujahid
» Imam Samudra
Imam Samudra
Written By safety K3 on Rabu, 05 Desember 2012 | 20.54
Abdul Aziz atau lebih dikenal dengan nama Imam Samudra, adalah nama yang begitu dikenal, baik di kalangan para aktivis Islam atau mujahidin maupun di kalangan musuh dan thawaghit.
Ia menjadi salah satu konseptor jihad, amaliah istisyhadiyah bom Bali I pada 12 Oktober 2012. Sebenarnya sepak terjangnya dalam dunia jihad tak sebatas pada aksi tersebut, ada sejumlah ladang jihad yang pernah ia tapaki baik di dalam maupun luar negeri.
Ia telah mengarungi ‘samudra’ perjuangan yang akhirnya menghantarkan dirinya meraih prestasi tertinggi yakni gugur menjadi syuhada (insya Allah) di hadapan regu tembak pada 08 November 2008 tengah malam di Nusakambangan.
Sebelum syahid, ia sempat menulis beberapa buah buku diantaranya berjudul; “Aku Melawan Teroris” buku fenomenal yang berisi argumen/hujjah berdasarkan syariah dilaksanakan amaliah bom Bali I. Pada halaman awal dalam buku tersebut memuat biografi Imam Samudra yang ditulis dengan cukup menarik. Ia mengisahkan masa kecilnya, pertemuannya dengan sang istri serta nostalgia di medan jihad. Berikut ini kami kutipan selengkapnya biografi Imam Samudra.
Biografi Setengah Hati
Menulis biografi adalah pekerjaan yang sangat aku tidak suka. Ketika SD aku paling tidak suka mengisi buku diary yang biasanya meminta semacam biodata, kata mutiara, dan sejenisnya. Apalagi setelah aku dewasa. Apalagi setelah aku mengerti arti sebuah perjuangan menegakkan kalimah Allah yang menuntut betapa pentingnya menjaga sebuah rahasia. Maka bografi adalah salah satu perkara yang sangat aku hindari.
Jika kini aku menulis biografi, itu karena drakula bin monster Amerika dan sekutunya terlanjur mengetahui nama kecil dan sebagian masa laluku. Meski demikian, dalam penulisan biografi setengah hati ini, akan tetap kuhindari hal-hal yang kukhawatirkan akan membatalkan pahala di sisi Allah kelak –naudzu billahi mindzalik.
Karena menyebut-nyebut kebaikan sendiri di hadapan manusia hanya akan membatalkan pahala. Memang, segala amal itu tergantung pada niat. Tetapi sungguh, menjaga niat itu bukanlah perkara yang mudah. La hawla wala quwwata illa billah.
Seandainya tidak kuingat ayat di atas, dan demi kepentingan pertanggungjawaban seluruh tulisan dalam buku ini, niscaya tak akan kutuliskan biografi setengah hati ini. Siapapun yang ditakdirkan Allah membaca biografi ini, ia tidak akanmendapati apa-apa selain ketidakpuasan atau malah kebosanan. Wallahu a’lam.
Kepada mereka yang sempat bertemu denganku dan mengetahui aib dan atau dosa-dosaku, kukatakan, “Sesungguhnya mereka hanya mengetahui setitik aib dan secuil lautan dosa-dosa yang telah kuperuat. Dan hanya aku dan Allah yang tahu. Semoga Allah Yang Maha Mengampuni menghapuskan segala dosa-dosaku, yang disengaja ataupun tidak, yang nampak dan yang tak nampak.” Amien.
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang wanita, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal.” (Al Hujurat:13).
Childhood
Dengan takdir Allah, di sebuah kota kecil ibukota kabupaten Serang, Kecamatan Serang (sekarang provinsi Banten), desa Lopang Gede, Kampung Lopang RT O4/ RW 01, jalan Sema’un Bakri 201, pada 14 Januari 1970/1971 aku dilahirkan. Akhmad Syihabuddin bin Nakha’i itu nama ayahku. Sedangkan ibuku bernama Embay Badriyah binti Sam’un.
Kedua orangtuaku –Allahummaghfirlie wa-liwalidayya war-hamhuma kama rabbayanie shaghira– memberiku nama Abdul Aziz. Alhamdulillah, nama yang bagus. Artinya, hamba Allah Yang Mulia. Kalau tidak salah, nama itu sama dengan nama Raja Saudi Arabia waktu itu: Abdul Aziz bin Faishal.
Kedua orangtuaku asli Banten. Dari garis ayah, kakekku (M. Nakha’i) adalah seorang juragan besar pada zamannya. Beliau seorang yang ta’at beribadah. Ia selalu mengenakan topi haji, atau peci hitam. Pertama kali beliau mengajakku ke masjid ketika umurku empat tahun. Itu kuketahui, karena ketika dalam perjalanan menuju masjid, kakek yang mengenakan jas dan sarung berikat pinggang serta terompah kulit dan membawa tongkat seperti Bung Karno itu, ditanya oleh beberapa orang yang berpapasan, “Berapa umur cucunya ini?” lalu kudengar beliau menjawab, “Empat tahun.”
Terakhir kali aku hidup bersama kakek pada sekitar kelas dua SD sepulang sekolah. Waktu itu aku mengenakan T-Shirt Argentina 78. Ayah, ibuku, dan sanak keluarga lainnya pergi ke rumah sakit Serang dengan mengendarai mobil colt bertulis NASIA (Nakha’i dan Asiah), nama perusahaan milik Kakek. Aku ingat persis nenekku (Asiah) dan seluruh perempuan termasuk Ibu dan Bibi serta Uwak menangis begitu tahu Kakek meninggal dunia. Allah Yarham. Inna lillahi wa-inna ilayhi Raji'un.
Alhamdulillah, dengan segala kekurangannya, beliau ketika itu sebagai sosok tukang ngaji dan tukang adzan. Masa itu uwak Safiyuddin, Imam masjid Ust. Suruji, Kyai Mahmud, Ust. Turmudzi, Ust. Asrul, masih terbilang saudara dari garis nenek dan kakek. Sehingga aku tidak terlalu sungkan untuk datang sendiri ke masjid setelah kakek meninggal, sekalipun tidak rutin lima waktu.
Cicit ke-3 dari seorang Ulama’ Mujahid Fi Sabilillah
Dari garis ibu, Alhamdulillah, aku masih kecipratan turunan darah mujahid, sekaligus Ulama'. Ulama' sekaligus mujahid. Yang kumaksud adalah Ki (Kyai) Wasyid, salah seorang tokoh perlawanan masyarakat muslim Banten melawan penjajah Belanda yang beragama Kristen.
Pada Senin, 9Juli 1888, terjadi peristiwa bersejarah yang amat terkenal di Banten. Masyarakat setempat menyebutnya peristiwa “Geger Cilegon”. Jihad fi sablillah melawan penjajah ini dipimpin langsung oleh Ki Wasyid. Dalam beberapa masa kemudian, beliau ditangkap Belanda karena adanya pengkhianatan dari kalangan dalam sendiri. Sejarah lengkapnya aku kurang begitu menguasai. Tetapi yang jelas, jika dirunut, ternyata aku termasuk dalam urutan cicit ke-3 dari Ki Wasyid –rahimahullah.
Alonumen jihad beliau diabadikan berupa patung lelaki berjubah lengkap dengan senjatanya, di tengah kota Serang, ibukota provinsi Banten sekarang. Sejarahwan barangkali menyebutnya sebagai "Pahlawan Nasional", tetapi aku menyebutnya sebagai Ulama Mujahid Fi Sabilillah. Semoga Allah menerima amal shaleh beliau •
SD vs Ibtida’iyyah
Sebelum sekolah, aku agak susah membedakan antara amco dan maco. Kebiasaan nonton tv 14” hitam putih di rumah kakek bersama kakak sepupu, membantuku dapat membaca sebelum sekolah. Tetapi yang paling kuat pengaruhnya ialah karena aku sering duduk di sebelah kakek yang acap kali membawa tumpukan surat bertuliskan “Toko Setudju”, “Bon Kontan” –yang agak unik bentuknya ialah kertas mirip uang bertuliskan “Saham Obligasi”. Dan yang sampai kini aku belum mengerti cara menggunakannya ialah benda terdiri dari ‘roda-roda’ kecil terbuat dari kayu keras yang disebut ijiran cina. Alat ini biasa dipakai kakek untuk menghitung. Kadang-kadang beliau gunakan juga untuk menggelitik badanku yang agak kurus. Dia akan terbahak saat aku kegelian.
1978. Menjelang Zhuhur, aku sempat bertanya, “Gimana, bah, sekolah saya, jadi nggak?” Aku benar-benar kecewa saat kudengar, “Pak Matori bilang, kamu belum cukup umur.” Lalu aku ngotot kalau aku sudah bisa baca. Aku benar-benar merengek ingin sekolah. Akhirnya, beberapa hari kemudian, ayah membawaku ke sebuah sekolah yang waktu itu disebut SD IX. Di sana, aku dipertemukan dengan seorang yang kemudian kukenal sebagai Pak Matori, Kepala Sekolah SD tersebut.
Setelah ditanya, aku diminta melingkarkan tangan kananku di atas kepala dan menyentuh telinga kiri. Kemudian beliau menunjuk kursi kayu coklat bertuliskan SD IX warna putih. Ketika disuruh membaca, dengan cepat aku menyebut, Es De -iX (iks)!”. Kontan beliau tergelak begitu juga ayahku. Dua hari setelah itu, Senin, aku resmi jadi murid kelas I SDN 9 Serang.
Pada tahun yang sama, aku telah duduk di kelas dua Madrasah Ibtida’iyyah Al Khairiyyah Serang. Sekolah Agama yang dimulai pukul 14.00 hingga 17.00 WIB itu, memang peraturannya tidak terlalu ketat. Apalagi asatidz (para pengajar)nya adalah saudara dan tetanggaku sendiri. Suasananya memang agak membosankan. Mulai dari bangku, kursi, dan meja tua yang telah dimakan rayap, buku absensi yang lusuh, disiplin yang amburadul sampai pengajar yang terkesan memanfaatkan ‘sisa umur’ dan ‘tenaga sisa’ setelah bekerja di pagi hari. Yah, daripada tidak.
Pergaulanku dengan teman-teman SD berpengaruh besar pada pendidikan ibtida’iyyahku. Dari sekitar 40 murid, tak sampai 10 orang yang belajar di ibtida’iyyah. Memprihatinkan memang. Sejak saat itu, aku mulai ‘ngadat’ malas ke madrasah. Jika sebelumnya pukul 14.00 WIB aku sudah di madrasah, maka kebiasaan baik itu kemudian berubah. Aku lebih suka nonton TV di rumah kawan baru atau jalan-jalan ke alun-alun Serang tanpa sepengetahuan orang tua. Bad habitual itu terus berjalan selama setahun, sehingga akhirnya raport ibtida’iyyahku berangka merah, alias blank. Walhasil tidak naik kelas.
Sepertinya, orangtuaku memahami keadaanku. Mereka tidak marah. Begitu aku menginjak kelas dua SD, terutama ibuku memberi warning dan nasihat agar kembali masuk madrasah. Otomatis sejak pukul 07.00 hingga 17.00 WIB, dipotong shalat Dzuhur hingga 14.00 WIB, aku full belajar. Secara umum, mereka yang di madrasah baru kelas satu, maka di sekolah luar telah menginjak kelas dua ke atas. Bahkan pada saat aku kelas empat ibtida’iyyah, ada di antara kawanku yang telah duduk di kelas III SMP.
Kelas I-II SD kujalani. Sekolah enjoy, biasa-biasa saja. Waktu itu aku belum mengerti apa itu rangking, apa itu angka merah. Hanya yang tidak pernah kulupakan sampai saat ini, jika tiba giliran pelajaran membaca, aku dan dua orang teman sekelasku disuruh keluar dan diberi buku bacaan tersendiri. Kadang-kadang kami disuruh ke perpustakaan. Rupanya Bu Guru tahu kalau aku ‘bosan’ membaca dan menulis “Ini Budi.., itu bukan..” Berulang-ulang.
Kejadian yang terus berulang itu akhirnya kusampaikan pada ibuku. Beliau nampak tersenyum senang. Waktu itulah pertama kali aku mendengar ibu berkata, “Kakak-kakakmu bintang pelajar, kamu harus seperti mereka.” Aku begitu tertarik saat ibu menceritakan bahwa kakakku sering menerima hadiah buku tulis dan perlengkapan sekolah dari sekolahnya. Saat kutanya bagaimana caranya jadi bintang pelajar dan mendapatkan hadiah itu, ibuku hanya bilang, “Rajin-rajin belajar.”
Sebenarnya, tidak ada bedanya bagiku rajin belajar atau pun tidak. Bahkan saat itu, aku memahami rajin belajar sebatas rajin sekolah. Rasanya tidak ada bedanya mengulang kembali pelajaran di rumah ataupun tidak. Toh saat ulangan harian, atau ujian kenaikan kelas, nilai yang didapat tetap sama. Dan, Alhamdulillah, selalu dapat juara kelas. Saingannya paling juga anak pak Penilik Sekolah yang berkantor di Depdikbud. Ia sering mendapat rangking satu.
Di antara pelajaran (bidang studi) yang diajarkan, yang paling kugemari adalah matematika dan IPA. Selebihnya, kuanggap sebagai pelengkap saja. Kalau boleh kubilang, aku membaca 80% buku-buku perpustakaan sekolah, surat kabar, dan majalah. Sedangkan buku-buku pelajaran hanya 20%.
***
“Buldozer” pendidikan sekuler memang terlalu kuat, sehingga sanggup menggusur pendidikan dien (agama). Sejak kelas IV aktivitas SD-ku makin meningkat. Aku harus ikut lomba matematika, lomba catur, lomba puisi, lomba mengarang, dan macam-macam lomba lain yang memerlukan waktu ekstra di luar jam sekolah SD. Anak kecil seusia itu, siapa sih yang tak senang diajak jalan-jalan keluar sekolah oleh Pak Guru untuk ikut perlombaan? Apalagi dikasih makan nasi Padang dan kalau pulang dapat uang saku. Melihat kenyataan ini, kedua orangtuaku tak berkutik. Aku cuma membatin, “Apakah ini yang dimaksud ibu sebagai bintang pelajar?”
Seperti kubilang tadi, akhirnya ibtida’iyyah tergusur. Aku berhenti. Waktu itu aku belum mengerti bahwa sebenarnya hal itu merupakan musibah. Kelas V SD lebih seru lagi. Kali ini aku mewakili sekolah untuk mengikuti pemilihan pelajar teladan mulai tingkat kecamatan, sampai kabupaten. Ada rasa kebanggaan tersendiri, saat upacara Senin pagi, wali kelasku mengumumkan di depan murid-murid dan guru bahwa aku berhasil menjadi pemenang dengan meraih angka 8 (delapan) untuk studi matematika. Nilai itu merupakan angka tertinggi. Untuk mata pelajaran lainnya tak aneh mendapat nilai di atas itu. Alhamdulillah.
Sebagai pelajar SD ‘ultranasionalis’ (Ciyaa..), tak aneh kalau aku dan Tim Sekolah memenangkan cerdas-cermat P4 tingkat kecamatan (lumayan…). Di tingkat kabupaten kami tumbang, Alhamdulillah. Bayangkan kalau menang sampai tingkat kabupaten, terus tingkat provinsi, terus nasional, mungkin sekarang aku jadi pengacaranya Edi Tansil, atau Sofyan Wanandi. Bisa juga menjadi Hakim Ketua yang memvonis ‘hukum mati’ untuk Theo Syafi’i, atau malahan menjadi hakim ketua untuk sidang kasus bom Bali, dan yang jadi tersangka pasti TPM…
Lagi-lagi, aku dikirim mewakili sekolah untuk lomba baca puisi. Seperti biasa, untuk putra, aku ditakdirkan menang tingkat kecamatan sehingga kemudian maju ke tingkat Kabupaten. Waktu itu seingatku utusan putri dari sekolahku kalah tipis. Yang terpilih sebagai pemenang putri malah dari sekolah lain. Siapa dia? (berhubung sudah 23.15 WITA dan aku sudah mengantuk, jadi mendingan tidur dulu deh... he he he...
***
Rupanya pemenang putri itu dari sekolah ‘musuh’-ku, musuh dalam segala perlombaan. Ia dari SD 2 Serang. SD 2 Serang memang musuh bebuyutan dengan SD kami. Tapi yang jelas predikat SD teladan, sudah disapu oleh sekolahku. Kelak ‘sang Putri’ ini bertemu di eS-eM-Pe. Tak disangka.
Adalah karunia Allah yang sangat-sangat-sangat besar jika sejak empat tahun aku dikenalkan masjid –Alhamdulillah– sehingga dalam kesibukan sekolah seperti apapun aku tidak bisa meninggalkan shalat. Inilah barangkali yang akhirnya memanggil nuraniku untuk kembali ke ibtida’iyyah. Aku harus duduk di kelas IV ibtida’iyyah. Di sini aku mulai menyukai pelajaran bahasa Arab dan hadits. Aku sangat senang saat ustadz Asma’i menyuruhku membaca sekaligus menterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Beliau yang juga tetanggaku dan masih saudara jauh, dalam sebulan mengajar empat kali; dua kali bahasa Arab dan dua kali hadits.
Minggu pertama, bahasa Arab teori. Beliau membacakan bahasa Arab kemudian menerjemahkan. Murid-murid mendengarkan. Baru pada pertemuan berikutnya, setiap murid disuruh membaca dan menerjemahkan.
Minggu ketiga, beliau menuliskan hadits sekaligus menerjemahkan. Kemudian beliau menerangkan kandungannya. Seluruh murid wajib menulis tulisannya. Minggu berikutnya beliau khususkan untuk hafalan hadits yang minggu ini beliau tuliskan minggu sebelumnya. Murid yang sudah setor hafalan pada pertemuan itu, tidak punya kewajiban untuk hafalan pada pertemuan berikutnya.
Kebiasaan Pak Ustadz yang kuhafal itu rupanya memancing kebiasaan burukku. Aku memang memiliki kebiasaan kurang bagus waktu itu. Cepat bosan mendengarkan keterangan pelajaran secara formal, bahkan tidak tertarik sama sekali. Sepertinya, aku lebih suka membaca sendiri daripada mendengar guru menerangkan pelajaran. Toh hasilnya sama. Kalaupun aku mendengar dan memperhatikan Sang Guru di depan kelas, itu karena aku manjalankan kewajiban seorang murid untuk menghormati ustadz dan guru. Dan itu akan mendapat pahala di sisi Allah. Hal itu juga melatih seseorang untuk tidak sombong alias takabur.
Dari empat pertemuan dengan ustadz Asma’i, seterusnya aku lebih sering menghadiri dua kali pertemuan saja; pertemuan kedua dan ketiga. Pertemuan pertama dan keempat kugunakan untuk ‘minggat’ ke Pelabuhan Merak. Mengamati kesibukan para kuli panggul, hilir mudik di kapal ferry sekaligus menikmati birunya selat Sunda. Kalau tidak, sudah pasti aku nongkrong di taman bacaan terjauh dari rumah dan sekolah. Teman seangkatan madrasahku, paham benar kebiasaan bolosku. Tetapi anehnya, aku tidak mendapat teguran sama sekali dari orangtua dan para ustadzku. Makin aneh lagi setelah aku dipilih mewakili kelas untuk mengikuti cerdas-cermat tingkat sekolah, kemudian naik ke tingkat kecamatan. Sekolah kami, waktu itu hanya menduduki juara kedua, dikalahkan oleh tuan rumah Madrasah Nurul Huda, Kelapa Dua Serang. Hadiahnya songkok hitam tanpa cap, dan Al Quranul Karim cetakan Al- Ma’arif Bandung.
Harus aku sesali dan aku akui, belajar di Ibtida’iyyah lebih terkesan asal-asalan dengan berbagai faktor penyebab. Sehingga sampai lulus ibtida’iyyah, nilai ijazahku amburadul. Asal lulus. Nilai rata-rata enam lebih dikit. Sedangkan di SD cukup banyak ‘kompor’ yang membuatku sangat termotivasi. Mulai dari teman sekelas sampai wali kelas yang memberikan semacam expectation, agar aku meraih NEM terbesar se Kabupaten Serang. Alhamdulillah tak terlalu berhasil, tidak juga gagal.
Kabar angin yang kudengar, angka tertinggi saat itu adalah 49. Sedangkan aku cuma dapet 47 dari enam mata pelajaran. Di kota lain, kabupaten lain atau provinsi lain, angka seperti itu mungkin terhitung kecil atau dianggap kecil. Tadi di Kabupatenku –kata Pak Guruku– angka yang kuperoleh cukup lumayan. Alhamdulillah.
***
Di luar pendidikan formal versi sekuler, malam hari setelah maghrib sampai Isya’, aku tetap mengikuti pengajian Al-Qur’an secara khusus, mulai dari turutan (Juz ‘Amma) yang menggunakan metode Baghdad (Al-Qa’idah Al-Baghdadiyyah) sampai khatam Al-Qur’an. Selama enam tahun belajar Al-Qur’an, aku baru belajar pada enam guru ngaji, terhitung dari mulai alif bengkok, tajwid, makhraj huruf sampai langgam qira’at.
Para ustadz –semoga Allah membalas kebaikan mereka semua dengan kebaikan setimpal– yang sangat berjasa itu antara lain: Kyai Mahmud, Nyai Ncah, Ustadz Surudji, Ustadz Turmudzi, Ustadz Asrul (Almarhum), Bimur (Almarhum), Kyai Hasan, serta Mang Min.
Teenager
Disadari atau tidak, cerita tentang Jannah (surga) dan Nar (neraka) sangat berpengaruh pada diriku. Apalagi jika membaca komik berjudul Surga dan Neraka dengan peran utama bernama Sholeh dan Karma. Dalam komik bergambar itu, tokoh Sholeh dengan amalnya yang sholeh seperti shalat, ngaji, sedekah, hormat pada orangtua dan kebaikan lainnya akhirnya masuk surga. Sedangkan si Karma yang tidak shalat, tidak ngaji, tidak sedekah dan selalu berbuat keburukan akhirnya masuk neraka.
Otomatis hal ini menimbulkan keinginanku untuk meneruskan pendidikan negeri (sekuler). Ketika lulus SD aku berniat mendaftar ke SMPN 4 Serang dan MTS Insaniyah, Serang. Waktu itu aku berfikiran; SMP Negeri untuk urusan dunia dan Tsanawiyah untuk akhirat. Simple. Kenyataan berbicara lain. SMP favorit –yang ketika test aku ditakdirkan Allah mendapat ranking ke-4 dari 240 siswa yang diterima– itu ternyata kekurangan lokal. Sehingga untuk murid kelas I harus menjalani kegiatan belajar pada sore harinya. Dengan begitu berarti saat itu aku ‘siap diproses’ menjadi manusia Sekuler, manusia Pancasilais yang wajib bertoleransi dengan kebathilan dari penjuru manapun.
***
Ada satu peristiwa “nggak lucu”, yang akhirnya jadi sejarah hidup dan kenangan manis. Dalam satu upacara penutupan penataran P4 murid baru, yang jadi protokol waktu itu adalah..., adalah..., adalah...ya itu, Sang Putri yang menjadi juara I baca puisi pelajar SD se-Kabupaten Serang. Upacara bubar. Siswa berebut ke kantin demi membasahi kerongkongan masing-masing, sekaligus mengganjal perut bagi yang lapar. Kantin penuh. Aku malas berebut. Alternatifnya, aku cari tukang es yang lagi ‘manyun’. Rasanya memang kurang enak, kalau tidak terpaksa –barangkali– para siswa tidak membelinya. “Bagi-bagi rejeki,” pikirku. Aku pun ngloyor ke arahnya. Waktu itu uang Rp 50 masih bisa mendapatkan segelas es.
Belum lagi air itu kuminum, tiba-tiba ‘pembaca protokol’ itu berdiri di depanku, hanya terpisah oleh gerobak kecil tempat menata botol-botol sirup sekitar satu meter. Rupanya Si Dia juga kehausan dan punya selera yang sama. Di hari yang terik itu, aku segera mengucapkan, “Selamat pagi…” Si Dia malah bilang, “Selamat siang dong...!” Lalu kubalas, “Selamat Pagi Indonesia… karya Supardi Djoko Damono...!” Judul puisi wajib bagi seluruh peserta lomba baca puisi yang sama-sama kami ikuti sebelumnya.
Dia hanya menjawab, “Nggak lucu!” Sambil berlari kecil membawa bungkusan es sirup warna orange. Aih! Ketika masuk kelas pada Senin harinya, orang yang bilang “nggak lucu” itu ketemu lagi. Rupanya kita sama-sama duduk di kelas satu ‘A’. Hari pertama kita masuk, Wali Kelas meminta masing-masing siswa memperkenalkan diri. Dari perkenalan demi perkenalan itu, aku jadi tahu kalau ‘satu A’ terdiri dari para ‘Veteran’ berbagai perlombaan di masing-masing SD dulu.
Saat tiba giliranku, aku hanya memperkenalkan nama dan asal sekolahku. Begitu aku akan kembali duduk, ada diantara siswa yang protes, "Hi... curang, dia pelajar teladan tuh Pak!!!” Hotman Simatupang, guru matematika yang kebetulan waktu itu memimpin perkenalan kami menahanku agar tidak duduk dulu. Ia memintaku untuk melengkapi introduction. Yah... terpaksa sambil nyengir kuda kuceritakan juga sedikit pengalaman eS-De.
Perkenalan selesai. Acara berikutnya pemilihan Ketua Kelas. Orang yang kemarin lusa bilang “Ngga’ lucu!” itu terpilih menjadi kandidat. Aku juga. Ha ha ha. Apa karena gara-gara beli es sirup di tempat yang sama, atau gara-gara sama-sama baca puisi, aku tak tahu. Di eS-De udah bosan jadi Ketua Kelas, juga ketua regu “Rajawali”. Aku buru-buru konsentrasi doa moga-moga bukan aku yang terpilih jadi Ketua Kelas. Anugerah....benar! Alhamdulillah, aku tak terpilih. Protokol “ngga’ lucu” itu akhirnya resmi jadi Ketua Kelas satu A. Sedangkan aku lupa, entah jadi apa.
Selain pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Pembohongan Bangsa) yang mencetakku menjadi Pancasilais dan Nasionalis, tidak ada pelajaran lain yang aneh. Kalaupun saat itu aku cukup menyukai subject Bahasa Inggris, itu karena Pak Ma’ruf kulihat rajin shalat. Soal vocab, kelas V SD aku sempat sedikit berguru pada abang kandungku –yang sampai detik buku ini kutulis tidak pernah bertemu lagi (semoga Allah memberikan hidayah).
Satu dua pesan guru Ibtida’iyyahku, membantuku tidak terlalu terseret arus kerusakan remaja awal. Setidaknya dalam nuraniku yang masih sangat ingusan waktu itu, tertanam perasaan atau semacam ‘intuisi’, bahwa kelas ‘satu A’ sedang berjalan menuju kerusakan. Betapa tidak, sebagian besar siswa telah merobohkan tiang agama. Mereka meninggalkan shalat. Belajar mulai jam 13.00 WIB, selesai 17.30 WIB, Maghrib 17.45 WIB. Shalat Asharnya kapan? Alhamdulillah, aku dan tiga orang teman sekelas memanfaatkan waktu istirahat yang sangat singkat itu untuk shalat Ashar di luar sekolah seberang jalan. Disebut masjid Den-Bek. Sarung Cap Manggis dan peci hitam cap 555-ku kerap kami pakai bergantian. Alhamdulillah.
***
Heterogenitas dunia eS-eM-Pe di jantung kota itu memang sangat mengasyikkan. Adalah hal yang sangat biasa jika siswa dan siswi belajar bersama, kemah bersama, makan bareng-bareng, naik angkot nengok teman sakit bareng-bareng. Itu semua –pada saat itu– kuanggap tidak apa-apa. Bahkan kuanggap sebagai ‘keharusan’ dunia remaja. Dengan modal hanya ‘tidak meninggalkan sholat’, aku sangat bangga dan bersemangat saat menceritakan kepada Ayah-Bunda bahwa aku dan teman-teman, siswa dan siswi, empat atau lima orang, habis nonton film bareng. Tidak ada teguran sekalipun aku telah bergaul dengan bukan mahram. Kalau di kota yang terkenal religius saja sudah seperti itu, bagaimana pula pergaulan di kota lain?
Pergaulan yang –jika dilihat dari kacamata Islam– termasuk amburadul itu, dengan takdir Allah tidak menghalangiku untuk meraih juara I pidato se-SMP 4. Naskah pidato yang kutulis sendiri pada waktu itu tak lain dari memory recall pelajaran Tarikh Nabi sewaktu di ibtida’iyyah, ditambah dengan sedikit dari “Sejarah 25 Nabi dan Rasul” Ny. Hadiyah Salim, hadiah dari Bunda tercinta.
Allah Maha Penyayang. Maha Pengasih. Maha Tahu. Dialah, hanya Dia; Pemberi hidayah. Dia tidak membiarkan masa remajaku ‘terbakar’ begitu saja oleh gelombang sekularisme dan materialisme bin Pancasila. Satu ketika seusai EBAS (Evaluasi Belajar Akhir Semester) dua, seluruh sekolah libur selama dua pekan. Saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan. Di antara beberapa organisasi Islam, Muhammadiyah dan Persis bergabung mengadakan acara Pesantren Ramadhan. Dengan dorongan kedua orangtuaku, kakak serta abang, Allah menggerakkan hatiku untuk mengikutinya selama sepekan.
Penjelasan dan pengajaran yang ilmiah, fair dan bersahaja, ditambah keikhlasan para asatidz dan panitia, menjadikan aku benar-benar tertarik. Di situlah aku mengerti apa itu bid’ah, apa itu sunnah, apa itu syirik dan apa itu Islam. Penjelasan masalah pergaulan, membuatku benar-benar tertusuk.
Masih segar dalam ingatanku keterangan guru agama di SMP, bahwa dalam berjalan, siswi harus di sebelah kiri dan siswa di sebelah kanan. Ini karena perempuan di Indonesia aturannya memang berjalan di sebelah kiri. Nah, pada saat ustadzah di Pesantren Ramadhan memancing para peserta tentang bagaimana cara berjalan lelaki dan perempuan ketika bersama-sama? Secara spontan dan sangat ‘pe-de’ aku menjawab persis seperti yang diterangkan guru agamaku di SMP. Ada juga peserta yang menjawab kebalikannya, tetapi kebanyakan idem dengan jawabanku.
Setelah suasana reda, ustadzah kemudian menjelaskan bahwa berjalan beriringan lelaki dan wanita yang bukan mahram adalah haram, dilarang dalam Islam. Baik si laki-laki di sebelah kanan atau di sebelah kiri, baik sepasang maupun beberapa pasang. Beliau kemudian memberikan dalil dari Al-Qur’an dan Hadits yang menjadi dasar hukum keterangannya.
Uraian beliau membuatku benar-benar kaget, sedih dan sejuta perasaan lain. Kurasa, itulah konflik batin pertama yang kualami. Bagaimana tidak, sejak aku mengenal sekolah, aku telah terbiasa bergaul dan bermain dengan siswi-siswi yang tak menutup aurat. Bebas bersalaman dengan mereka tanpa merasa berdosa. Bahkan setiap kali aku kebagian giliran tugas baca do’a dalam upacara bendera, ada beberapa siswi yang dengan sukarela memakaikan dasi kupu-kupu di leherku, ada yang memakaikan topi, lalu kemudian kami tertawa riang bersama khas remaja tanpa merasa berdosa sedikit pun. Jika ada yang tidak suka dengan gaya kami, segera kami beranggapan bahwa dia cemburu, atau buruk sangka, atau ketinggalan zaman. Jadi, ya kami jalan terus, toh kami nggak ngapa-ngapain, lagian di depan banyak orang. Musibah!
Bagiku, Pekan Ramadhan saat itu benar-benar penuh hidayah dan rahmat. Itulah starting point yang membuatku mengerti betapa indahnya Islam, betapa hebatnya Islam, betapa sempurnanya Islam. Di situ aku mengerti bahwa hanya Islamlah satu-satunya jalan menuju kemuliaan hidup di dunia dan akhirat. Padahal sebelumnya aku hanya mengerti bahwa Islam itu sekedar ritual. Sejak saat itu aku mulai mengerti apa arti hidup, apa arti ibadah. Aku mulai paham dan merasakan sebuah kekhusyu’an. Aku mengerti bahwa masa-laluku adalah salah. Astaghfirullah!!!
***
Senin, aku harus kembali ke eS-eM-Pe E. Tidak seorang pun tahu bahwa hampir sepanjang malam aku menangis, menyesali masa lalu. Kadang-kadang batinku ‘mengutuk’ mengapa para asatidz di Ibtida’iyyah dulu tidak memberikan pengertian yang benar tentang Islam. Begitu juga guru agamaku di SMP. Sebenarnya, aku enggan kembali ke sekolah. Saat itu aku benar-benar membenci teman-teman wanita di sekolahku, kecil-kecil udah pada nyanyi lagu cinta, giliran disuruh ngaji pada mlongo.
Aku juga membenci diri sendiri kenapa masuk sekolah ‘Belanda’ itu? Demi menghormati dan menjaga hati orangtua, meski dengan ogah-ogahan, akhirnya aku ke sekolah. Biasanya naik angkot, kali itu aku jalan kaki sambil tak berhenti memikiran dan membandingkan materi-materi di Pekan Ramadhan dan di SMP. Jauuh...jauuh! Aku benar-benar menyesal, kecewa dan marah. Tapi pada siapa? Aku juga cukup jengkel begitu ingat bahwa ke sekolah harus mengenakan celana pendek warna biru di atas lutut.
Sejak di gerbang sekolah sampai di kelas, tak seorang pun yang kusapa. Teman putri yang bilang “Selamat pagi” pun tak kujawab. Teman putra yang bilang “Selamat pagi” kujawab dengan, “Assalamu'alaikum.” Beberapa menit kemudian, pengajian oleh guru agama di lapangan basket dimulai. Para siswa dipersilakan bertanya tentang seluruh masalah agama setelah beliau berceramah sekitar setengah jam. Aneh, penjelasannya sama sekali tidak menyentuh hati dan cenderung membosankan.
Dalam secarik kertas, kutuliskan pertanyaan tentang hukum seorang wanita baligh mengenakan jilbab. Maksud pertanyaanku, agar guru agama itu menjelaskan kepada seluruh siswi supaya menutup aurat mereka. Kupikir beliau akan menerangkan kadungan surat An-Nur ayat 30-31 dan Al-Ahzab ayat 53 tentang kewajiban memakai jilbab. Tercengang aku. Apa jawaban beliau? “Jilbab adalah budaya Arab, untuk menutupi wajah dari pasir karena Arab terkenal gurun pasirnya. Sedangkan Islam mencintai kebersihan. Sedangkan di Indonesia alam dan iklimnya lain. Jadi tidak wajib memakai jilbab.”
Benar-benar menjengkelkan. Saat itu aku merasa berada di tengah dunia lain. Dunia sekuler. Dunia yang jauh dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dunia yang jauh dari Islam. Dunia yang sangat dekat bahkan terkurung oleh Sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia: adalah Pancasila. Dunia astung!
Raport kenaikan kelas dibagi. Seperti biasa, juara kelas I sampai III disuruh berdiri di depan kelas. Aku hanya tunduk. Bosan. Hati kecilku waktu itu sudah bergumam gundah, “Aku juara sekuler!” Mulai hari itu, aku mempunyai kekuatan dalam hati untuk tidak bersalaman dengan perempuan non-mahram. So, barangkali teman-teman putri yang dulu memakaikan topi dan dasi kupu-kupu warna biru, ketika upacara, agak terkejut dan tersinggung ketika uluran tangan mereka tak kusambut. Saat itu aku hanya merapatkan kedua telapak tanganku di depan dada sambil berkata, “Alhamdulillah.” Aku sempat mendengar ucapan salah seorang dari mereka, “Dih... najis, kok berubah?”
Benar! Ketua regu Garuda, pembaca doa upacara bendera, dan ‘siswa gaul’ itu, telah berubah. Sejak liburan panjang akhir tahun ajaran 1984/1985 dimulai, aku sudah berniat good bye SMP sekuler. Aku ingin mesantren atau pindah ke sekolah PERSIS (Persatuan Islam). Niat itu sudah kusampaikan kepada kedua orangtuaku. Mereka bingung juga.
Sejak SD dan Ibtida’iyyah, aku punya tempat khusus untuk menyendiri selain taman bacaan. Tempat itu berada di tegalan yang tak terlalu jauh dari kuburan, sekitar 100 meter dari rumah. Saat itu, aku memilih ke ‘pertapaan’-ku sambil membawa buku. Barangkali dapat ilham, pikirku.
Sekitar 20 meter dari tempat yang kutuju, terdapat 3-4 anak-anak sebayaku bermain. Satu di antaranya teman sekelasku waktu SD. Kami ngobrol sebentar. Baru sekitar lima menitan, tiba-tiba mata kaki kananku seperti disengat sesuatu. Dua anak yang sejak aku datang asyik menikmati mangga di atas pohonnya, tiba-tiba langsung melorot turun. Dua-duanya kemudian lari menjauh sambil teriak “Ular..ular..!” Teman yang tadi mengobrol pun jadi ikut bingung. Soalnya kami tak melihat ular. Kakiku terasa berdenyut-denyut. Nyeri.
Kulihat agak kebiru-biruan. Ada lubang kecil dan sedikit darah tapi tak mengalir. Segera kumasukkan ibu jariku ke langit-langit mulutku. Kuambil lendirnya. Bismillah, kusapukan lendir itu ke tempat luka. Setengah pincang aku berlari kecil ke rumah. Temanku tadi ikut mengantar. Kejadiannya setelah Ashar. Begitu Maghrib, ukuran kakiku menjadi dua kali lebih gemuk dari kaki kiri. Kami berdua tak tahu pasti apa penyebab sebenarnya.
Dalam keadaan kaki sakit, beberapa hari kemudian aku mendapat undangan menghadiri semacam Bazar Amal Pesantren Persatuan Islam. Berjalan kaki tak mungkin, naik becak juga dilarang. Jalan terakhir satu-satunya adalah naik ‘kendaraan terakhir’ yang ayah miliki. Akhirnya kami keluarga menghadiri bazar tersebut. Belakangan aku baru sadar, rupanya itulah ‘kebersamaan terakhir’ yang aku lampaui bersama kedua orangtuaku.
***
Rasa haru dan kagum timbul saat menyaksikan murid-murid SDI (SD Islam) mementaskan kemampuan mereka menghafal hadits sekaligus terjemahannya. Luar biasa. Tiba-tiba ada yang mencabut peci ‘sakti’ cap 555 yang bertengger di kepalaku. Orang berjilbab yang ternyata ‘kakak pernah sepupuku’ pelakunya. Dia bilang, “Nanti kalau dipanggil ke depan, kamu jangan pakai peci ya! Bagusan tanpa peci.” No comment. Akhirnya peci ‘apek’ kesayanganku itu dikembalikan lagi.
Pada sesi akhir acara Bazar Amal, aku terkejut begitu namaku disebut sebagai peserta terbaik Pesantren Ramadhan tahun itu. Aku diminta naik panggung. Sambil setengah pincang dan setengah malas, kukeluarkan peci yang kukantongi tadi dan kukenakan kembali. Tepat di dekat tangga anak panggung yang terlindung dari penglihatan hadirin, tiba-tiba sepupuku mencabut kembali peciku sambil bilang, “Udah gitu aja, cakep tuh!” No time, naik panggung, terima piagam. Hadirin tepuk tangan. Bosan. Aku turun lagi.
Sejak menyaksikan kemahiran murid-murid Pesantren Islam itu, keinginanku untuk pindah sekolah semakin kuat. Di sekolah itu semua siswi berjilbab, anggun dan sopan. Ruh ke-Islaman kuat terasa. Sedangkan seluruh siswa mengenakan celana panjang. Mantap!
Tahun ajaran baru 1984/1985 tiba. Kaki kananku yang belum membaik lebih menguatkan alasanku untuk tidak daftar ulang ke sekolah sekuler. Lewat seminggu, datang utusan dari sekolahku mempertanyakan masalah daftar ulang dan kelanjutan pendidikan. Tanpa sepengetahuan ayah ibuku, kukatakan kepada mereka, yang juga teman sekolah dan tetanggaku, bahwa aku akan pindah sekolah. Mereka kaget dan tidak setuju dengan rencanaku itu. Rata-rata mereka menyayangkan prestasiku dan kemampuanku jika harus pindah ke sekolah lain.
Tak sampai sepekan, teman-teman yang datang menemuiku lebih banyak lagi. Aku salut dengan solidaritas mereka. Kali ini ibuku turut bicara. Satu di antara mereka menyampaikan pesan sekolah bahwa aku mendapat juara umum ke-3 se SMP. Penentuan itu didapatkan dari hasil EBAS plus kegiatan ko dan ekstra kurikuler. Juara satunya diraih oleh kakak kelas. Kedatanganku sangat diharapkan dalam upacara Senin sekaligus pengumuman dan pembagian hadiah. Jadi, kata mereka, kalau mau pindah sekolah ya nanti saja setelah pengumuman, yang penting datang dulu.
Nampaknya ibuku tertarik, padahal aku juga tertarik, tapi sedikit. Aku tidak ingin ibuku kecewa, sekali pun beliau tidak memaksa. Hati manusia begitu tipis, mudah berubah, apalagi jika berhadapan dengan dunia, barangkali aku seperti itu. Musibah lagi!
***
Ke sekolah lagi. Sepatu “Arista” strip kuning, celana biru pendek, dasi kupu-kupu cap “kancing cepret”, topi pet, tas anti karat anyaman daun pandan, langsung ke bagian Admin bayar daftar ulang. Di situ aku baru tahu aku duduk di kelas paling bontot, II-E. Masuk sebentar, sekedar menyimpan tas di sembarang meja. Bel upacara telah dipencet pertanda dimulai apel Senin di lapangan basket. Biasanya aku ada di depan atau baris kedua, karena memang tubuhku kecil. Tapi setelah ‘nyantri’ aku memaksa berada di barisan belakang. Tidak ada yang menarik dari penjelasan ‘Pembina Upacara’ sekaligus Kepala Sekolah itu.
Pembina OSIS membacakan pengumuman yang bagiku tak surprise lagi. Namaku dipanggil maju lagi. Berdiri dekat tiang bendera menghadap ke arah sekitar 600 bocah lebih siswa dan dewan guru. Kepala sekolah menyalami kami setelah memberi hadiah. Tepuk tangan riuh rendah. Hatiku biasa saja, sebab waktu itu aku sudah mengerti apa itu riya’ dan apa itu rendah hati.
Kelas II-E. Alhamdulillah, dengan teman putra dari kelas berapa pun aku adaptable, begitu juga dengan guru-guru. Ada satu topik yang cukup melekat di benakku saat itu bahwa wanita adalah tiang negara, jika wanita baik maka negara akan baik, jika wanita rusak maka negara rusak. Bekal dari pesantren Ramadhan bagiku menjadi beban moral. Didorong oleh hadits, “ballighu ‘anni walau ayah” (sampaikanlah dariku walaupun satu ayat), akhirnya aku ajak teman-teman diskusi di kelasku, baik putra maupun putri. Saat aku bicara masalah jilbab, 99,999% tidak nyambung. Dari 24 siswi hanya satu yang nyambung. Barangkali pendidikan agama di rumahnya cukup bagus. Tapi ya bagaimana? Mau pakai jilbab di zaman seperti itu sama halnya dengan mengharapkan surat berhenti sekolah.
Ada yang lucu. Waktu itu istilah ‘dengkulmu’ adalah istilah gaul yang sama sekali tidak berarti kasar. Ia lebih sebagai istilah keakraban. Saat aku ajak ngobrol masalah aurat pria tiba-tiba hampir serempak ada beberapa teman nyeletuk, “Dengkulmu, bagaimana coba?” “Sama-sama bengkok,” kataku. Kami tertawa bersama.
Saat itu, semangat membacaku semakin ‘menggila’. Tiada hari tanpa perpustakaan. Keragaman judul buku dan ruangan yang cukup luas membuatku sanggup bertahan lama. Alhamdulillah, hampir sebagian besar buku di tempat itu pernah kubaca. Setelah buku-buku agama, ensiklopedia bergambar tentang alam semesta benar-benar menarik perhatianku. Seingatku, satu-satunya novel yang pernah kubaca adalah, Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Buya Hamka.
Sedangkan Tengelamnya Kapal Van Der Wijck Hamka, Salah Didik, Salah Asuh, Atheist, atau yang lainnya aku sama sekali tak tertarik. Aku juga tidak tertarik dengan Siti Nurbaya yang hanya tahu judulnya saja. Satu ketika aku pernah kecewa terhadap perpustakaan. Ceritanya, aku bermaksud pinjam buku untuk dibawa pulang. Alhamdulillah, ternyata buku-buku itu sudah kubaca. Ada yang belum kubaca tapi tak menarik, ada juga yang menarik tapi sedang dipinjam anggota perpustakaan lain. Jadi tak ada judul baru yang bisa kubaca. Kalau tak salah, jatah maksimal buku yang boleh dipinjam dalam satu kali adalah tiga judul. Tetapi aku biasanya nego dengan penjaga perpustakaan.
Alhamdulillah bisa membawa pulang sampai empat buku. Meski demikian, kebiasaan ‘mustaka’ itu tidak membuatku menjadi ‘kuper’. Pergaulan dengan teman-teman tetap terjaga. Meski waktu undangan ulang tahun dari siapapun tidak pernah kuhadiri. Alhamdulillah, aku berhasil menolak dengan cara yang baik. Satu dua orang ada yang menganggapku fanatik, tetapi dia menghormati pendirianku. Jadi kita nggak clash. Kami jalan masing-masing.
***
Suatu ketika aku dipanggil oleh guru elektronika yang juga pembina pramuka. Bukan main senangnya ketika diberitahu bahwa aku mendapat beasiswa Depdikbud Kabupaten Serang. Jika ketika SD aku dibebaskan uang SPP dan BP3, maka kali ini aku mendapat tabanas selama setahun. Aktifitas di OSIS sama sekali tidak mengganggu stabilitas prestasi belajarku, baik sebagai juara kelas maupun juara umum. Alhamdulillah. Malah pergaulanku semakin luas.
Entah siapa yang mulai, teman-temanku tiba-tiba menjodoh-jodohkanku dengan ketua OSIS yang juga mantan juara baca puisi SD, sekaligus pernah bilang, “nggak lucu”. Aku cukup terkejut saat memasuki aula, tiba-tiba adik-adik kelas dan kakak kelas menyanyi, “Zakiyah siapa yang punya... Zakiyah siapa yang punya..., yang punya ... Abdul Aziz”. Tak bisa kugambarkan perasaanku. Aku dan istriku (sorry, waktu itu belum jadi istri) saling pandang secara reflek dan kami sama-sama tersenyum.
Saat Salju Tiba, Rindu pun Menjelma
Tapi itu hanyalah sebuah lukisan yang sempat terpampang di kamar belajarku, kamar seorang siswa kelas 3A, No Induk 8485 1027, SMP Negeri 4 Serang, Jl Juhdi No. 18, Serang, Banten, Jawa Barat, Indonesia. Kodeposnya lupa, tetapi barangkali istriku ingat, sebab dia teman sekelasku dulu, pernah di bangku depan, duduk bersebelahan.
Di sebelah lukisan bagus itu ada rumus. Rumus yang mengesankan. Di bawah rumus-rumus itu ada tumpukan buku. Di antara buku-buku itu ada sebuah buku berjudul, Ayatur Rahman fie Jihadi Afghanistan (Tanda-tanda kekuasaan Allah dalam Jihad di Afghanistan) tulisan Dr. Abdullah Azzam rahimahullah. Mereka yang sempat membaca buku itu, Insya Allah akan tergerak hatinya untuk berjihad mengangkat senjata ke Afghanistan. Tapi waktu itu umurku masih 16 tahun, baru bisa membayangkan, menghayati, dan kemudian melamun.
Lebih dari sekali buku itu kubaca, dan selesai membacanya selalu Aku berdoa semoga Allah menyampaikanku ke bumi Afghanistan, negeri para syuhada, negeri para penghuni syurga.
Di pintu dalam kamar belajarku, ada aku gambar peta Afghanistan. Bentuknya mirip peta Kalimantan. Terakhir kulihat pada tahun 1995. Saat aku menikah, gambar itu masih tertempel di sana.
Sejak mengenal ‘buku ajaib’ itu, aku tak pernah berhenti berdoa agar Allah menggabungkanku dengan para mujahidin dan menjadikanku salah seorang syuhada. Untuk mempertajam dan memantapkan doaku, sejak saat itu juga aku berhenti nonton TV dan mendengarkan musik. Saat itu juga, aku menjadi semacam introvert. Teman setiaku adalah Al-Qur’an dan buku-buku diniyah (agama). Sesekali, aku ada membaca surat tulisan tangan dari seorang teman wanita yang kini menjadi ibu bagi anak-anakku juga anak-anaknya.
***
Intifadhah Palestina dan jihad Afghanistan membuat diriku benar-benar geram dan gundah. Aku ingin segera selesai sekolah dan mencari kerja untuk mendapatkan ongkos ke Afghanistan. Tapi ya bagaimana, untuk beli perangko kartu lebaran dan buku diary untuk kukirim ke Ketua OSIS-ku saja, aku harus menjebol tabunganku hasil beasiswa dari Depdikbud waktu itu. Ketua OSIS-ku waktu itu, kini menjadi Perdana Menteri di kerajaan tentara dan mata air di surga (nama putraku berarti Tentara Allah, dan nama putriku berarti mata air di surga). Dan yang menjadi Kaisar atau Rajanya adalah Imam Samudra.
Alhamdulillah, Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Tiga tahun kemudian doaku terkabul. Tahun 1990, aku lulus MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Cikulur, Serang. Di sebuah masjid Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, tepatnya masjid Al Furqan, jalan Kramat Raya 45, Jakarta, aku mendengarkan ceramah dari seorang da’i yang kurang aku kenal namanya. Saat itu juga aku berjumpa dengan seseorang bernama Jabir (syahid dalam peristiwa bom Antapani Bandung). Dengan bahasa Indo-Sunda, kami berkenalan. Kemudian entah bagaimana ceritanya, pembicaraan saat sampai pada topik jihad. Kuceritakan buku-buku jihad yang pernah kubaca, ia nampak interes dan antusias.
Setelah dia (agak) mengorek latar belakangku, seingatku waktu itu, dia berkata, “Tahun ini ada pemberangkatan, mau ikut nggak?” Untuk memperkuat dugaanku lalu kutanya, “Maksudnya ke Afghanistan?” Dia hanya menjawab, “Dik, udah dech, cepetan cari ongkos sekitar Rp 300 ribu. Insya Allah kalau antum ikhlas, Allah akan memudahkan urusan antum.”
Ciaoooo!!! Segera aku pamit dan kembali ke rumah. Ada sedikit sisa tabungan hasil kirim artikel berita ke Panji Masyarakat ditambah pemberian ibunda tercinta. Aku tak terlalu enak meminta uang dari ibuku, tapi apa boleh buat, setelah aku nyatakan bahwa aku akan ke luar negeri, beliau memberikan uang yang aku perlukan. Uang itu hasil usaha menjual jilbab dan busana muslimah yang kadang-kadang kubantu mencarikan bahan-bahannya di Tanah Abang, Jakarta.
Jumpa lagi sekitar tiga hari berikutnya dengan Kang Jabir. Setelah mendapatkan paspor Jakarta dalam minggu yang sama, kami ke Dumai dan bermalam sehari. Keesokan harinya, perjalanan dilanjutkan ke Malaka, Malaysia. Pada waktu itu rute Dumai-Malaka terkenal sebagai jalur TKI. Tidak sedikit mereka yang ditolak oleh imigrasi Malaysia, sekalipun mereka melengkapi dengan dokumen resmi dan uang tunjuk (uang jaminan selama tinggal di Malaysia).
Karena barangkali aku tidak memiliki tampang TKI, Alhamdulillah, dengan mudah dapat melewati antrian ratusan ‘turis’ Indonesia yang akan ke Malaysia. Tinggal sehari lebih sedikit di Malaysia. Keesokan sorenya kami menuju bandara Subang-Jaya, Selangor Darul-Ehsan. Begitu pesawat MAS (Malaysian Air System) take off, aku baru merasakan benar-benar berat meninggalkan tanah air. Ada perasaan ‘lain’ terhadap mantan Ketua OSIS SMPN-4 angkatan 84/85 Serang. Ok! Lupakan itu. Aku segera teringat ayat ini:
Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya dan Allah tidak memberi petunjuk (hidayah) kepada orang-orang fasiq.” (At-Taubah : 24).
***
Di atas udara dalam pesawat, para kernet udara (stewardest) menawarkan free post card, amplop dan sejilid kecil kertas surat berlogo Malaysian Air System. Sambil mengisi waktu 8 jam flight KL-KHI (Kuala Lumpur-Karachi), kutulis sekeping post card kepada satu-satunya wanita –selain ibu dan saudariku– yang pernah singgah dan akhirnya menetap dalam kehidupanku. Wanita itu adalah mantan Ketua OSIS yang pada saat itu juga baru lulus SMA. Kalau tak salah post card itu ditulisi dengan terjemahan surat Al-Baqarah ayat 214:
Apakah kamu menyangka bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang padamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam goncangan/cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.
Alhamdulillah, dengan takdir Allah, paid stamp post card itu akhirnya sampai juga ke tangan Sang Mantan Ketua OSIS, yang kuketahui beberapa saat menjelang pernikahan kami, 1995.
Setelah transit dua jam di Bombay, India, MAS yang kami tumpangi selamat landas di Karachi. Sehari semalam, kami bermalam di maehmon khana (ruang tamu) sebuah masjid Karachi. Perjalanan dilanjutkan ke Peshawar pada awal pagi. Sampai saat ini aku tak tahu apa nama daerah itu, sebuah rumah gaya Paki-Afghan yang sangat sesuai dengan syariat Islam.
Tinggal sehari di situ. Ba’da shubuh esok harinya, perjalanan ke negeri impian para lelaki dilanjutkan. Melewati gunung-gunung yang indah, menumpang bus dengan penumpang sebagian besarnya berbahasa ‘planet’ yang tidak pernah kukenal sama sekali. Sepanjang perjalanan aku yang mengenakan pakaian Afghanis dan menutup seluruh wajahku kecuali mata dengan menggunakan ridah (selimut tipis), tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekali bicara, orang akan tahu siapa aku. Perjalanan sepenuhnya dipimpin oleh Syahid Jabir dan dua orang Arab yang sampai saat ini tak kukenal darimana dan siapa namanya.
Menjelang Ashar, dengan berjalan kaki dari perbatasan Pakistan-Afghanistan selama hampir 4 jam, sampailah kami di sebuah camp sederhana yang terkenal dengan sebutan, Muaskar Khilafah. Di situ aku memulai kehidupan yang sama sekali baru dan sangat baru. Kehidupan yang betul-betul bersih sekalipun tidak disebut ‘steril’ 100 persen.
***
Sungguh, satu babak kehidupan baru yang amat membahagiakan.
‘Musik’ kami adalah rentetan peluru, ledakan mortar,
dan dentuman zigoyak dan da-scha-ka- (anti air craft gun).
‘Nyanyian’ kami adalah nasyid-nasyid (sejenis achapella)
pembangkit semangat jihad.
‘Senandung’ kami adalah lantunan ayat-ayat Al-Qur’an
yang tak pernah berhenti selama 24 jam saling bergiliran.
Tiada suara wanita, tiada tangis anak kecil,
apalagi musik-musik jahiliyah, panggilan setan.
Flat ground yang dikelilingi gunung di empat penjuru itu benar-benar menentramkan hati, benar-benar ‘surga’ bagi para perindu surga kekal di akhirat. Tidak ada seorang pun yang berani datang ke tempat itu kecuali ia benar-benar siap menggadaikan nyawanya di jalan Allah. Tidak ada seorang pun bertahan lama di situ kecuali jika ia telah siap bertarung melawan kaum kafir, baik komunis asli Uni Soviet ataupun komunis northern sebangsa Dustum –yang kini berkoalisi dengan Si Karzai di bawah ketiak Amerika dan para pengecut sekutunya.
Mereka yang datang ke tempat ‘aneh’ seperti itu hanyalah mereka yang siap membunuh atau dibunuh kafir, siap berjihad demi menegakkan kalimat Allah. Dan kesiapan mental seperti itu, hanya akan terwujud dengan rahmat dan takdir Allah. Alhamdulillah.
Khost, nama tempat itu. Daun-daun zaitun masih kekal bertahan. Daun-daun caparkat dan cactus Afghan telah luruh, tinggallah duri-duri dan kayunya yang kelak dibakar untuk kayu penghangat dan pemasak. Anor (delima) tak lagi berbuah, runtuh sudah daun-daunnya. Saghol (serigala) melolong di tengah malam. Selapis jaket mesti dikenakan. Begitulah keadaannya saat pertama kali aku tiba. Ya, saat itu musim gugur telah tiba.
Purnama kelima dari saat awal aku tiba telah menjelma. Musim gugur hilang sudah. Datanglah penggantinya. Afghanistan menggigil. Satu ketika sepulang belajar, saat aku berbaring di dekat room heater, suara keras bertubu-tubi menimpa atap tendaku, persis seperti bunyi lemparan benda keras. Saudara-saudara Afghan berteriak, “Baraan…, baraan…” Segera Aku longokkan kepalaku keluar tenda. Dan… pletak! Sebongkah benda menjitak kepalaku. Subhanallah.., bongkahan itu ternyata benda keras yang terbuat dari air yang membeku sebesar biji nangka. Dingin rasanya. Jernih warnanya. Es, nama benda itu... Kemudian baru kutahu kalau baraan itu artinya hujan.
Tiga hari kemudian sekitar jam enam pagi kudengar lagi teriakan saudara Afghan, “Baraaf..., baraaf...” Penasaran kujengukkan kepala keluar tenda. Subhanallah…, Salju..., salju...! Saat itu aku benar-benar menjadi ‘anak kecil’. Jika dulu aku suka hujan-hujanan di kampung halaman, maka saat itu aku salju-saljuan. Segera aku melompat keluar tenda menyambut kapas demi kapas salju yang terjun dari pintu-pintu langit. Saudara-saudara Afghan dan Arab hanya cengar-cengir dan cengengesan melihat polahku, tapi aku tak peduli. Ya, di negeriku tidak ada salju. Yang ada hanyalah hujan air, dan setelah itu lahirlah banjir.
Menjelang delapan pagi, saat akan memulai rutinitas, gunung-gunung di sekitar kami telah berselimut salju. Puncaknya begitu indah, hampir sama dengan gambar iklan Hazeline Snow. Di sekeliling kami tanah yang dulu berwarna coklat kini memutih, begitu juga pepohonan dan bebatuan. Kata penghuni lama di camp itu, suhu udara mencapai -7 °C (minus tujuh derajat celcius), jauh di bawah titik beku. Aku sendiri tak pernah mengukur. Yang jelas, orang sekurus aku mengenakan sekitar 5 lapis pakaian, dan kadang-kadang 6 lapis jika ditambah jaket wool ala Eropa.
Khost bukanlah kampus biasa. Bukan kampus orang-orang Eropa atau Amerika yang mengisi kehidupan mereka dengan segala kemaksiatan dan kemewahan dunia. Jika mereka kuliah, hanyalah demi kepentingan dunia semata. Khost adalah sekeping tanah di bentangan-bentangan bumi. Sewaktu-waktu, kapan saja, musuh bisa menyerang, menghantar mortar, memuntahkan peluru, lalu terjadilah pertempuran seru. Ajal memang di tangan Allah. Tapi di Khost dan front-front jihad lain di Afghanistan kematian terasa begitu dekat. Musuh ada di segala arah. Maut sewaktu-waktu akan menjemput.
***
Siaga tetap siaga. Waspada tetap waspada. Tetapi ‘indah’ adalah ‘indah’. Main salju bagiku terlalu indah, subhanallah. Umurku saat itu baru menjelang dua puluh. Masih ada tersisa rona-rona jahiliyah. Masih ada guratan-guratan kenangan lama. Tanggal dan harinya lupa sudah. Tetapi yang jelas di malam hari, langit begitu cerah, gemintang begitu indah menantang. Cassiopia, jalinan bintang berbentuk ‘W’ kubidik sebagai sasaran.
Nah…, tiba-tiba ingatanku jauh ‘terlempar’ ke alam ‘sana’, ke sebuah benua bernama Asia, terus terlempar ke Asia Tenggara, dan terus ke sebuah negara dengan ibukota bernama Jakarta. Di sebelah baratnya ada kota bernama Kalideres, diteruskan lagi ke arah barat. Satu jam kemudian kan tiba di terminal yang disebut Ciceri. Berjalan saja ke utara yang sekitar 1000 meter. Maka tibalah di sebuah tempat bernama Cinanggung. Ada sebuah rumah, Blok F 140.... Duh, ternyata di situlah rumah seorang wanita yang tempo hari kukirim postcard.
Astaghfirullah! Segera kusebut asma-Nya, ada apa ini? Segera kuambil teko kecil berisi air hangat, lalu aku berwudlu, shalat dua rakaat, berbaring. Malam begitu panjang, mata sukar terpejam. Seperti telah kubilang, ‘indah’ adalah tetap ‘indah’, ingin aku berbagi cerita, tapi dengan siapa? Dengan saghol-saghol, dengan atap tenda, atau dengan siapa? Ternyata tidak ada. Ya sudah ‘telan sendiri’ saja. Refleks goresan jahiliyahku kembali timbul. Running text, penggalan syair Ebiet G. Ade pun berkelebat, katanya:
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan...
Sayang kau tak duduk di sampingku kawan...
Laa ilaha illallah. Astaghfirullahal ‘Azhiim... kembali kusebut asma-asma-Nya.
***
Casio F-44-w di tanganku menunjukkan angka 4 lebih sedikit. The seven brother, rangkaian rasi yang terdiri dari 7 bintang telah mengambil posisinya. Waktu sahur telah tiba, ikhwan-ikhwan yang lain segera kubangunkan. Beberapa potong daging, sedulang nasi minyak Afghanis, 4 sobek roti nan dan sambal kentang yang telah kuhangatkan segera kusajikan. Malam itu memang giliranku sebagai penyaji sahur. Dalam suasana ukhuwah, dengan penuh kesyukuran kami santap rezeki Allah itu. Sedangkan udara di luar sana kian menggigit. Pagi semakin dingin.
Jumat pagi, sinar akhtab (matahari) cukup hangat. Ada sedikit aktivitas yang kami jalankan demi menjaga stabilitas iman dan stamina jasad. Demi maintenance niat-niat suci mencari syahid, menghimpun ridha Allah dan syurga-Nya. Hari itu, dalam salah satu even, Allah mengujiku dengan sedikit luka yang menimpa sebagian lengan dan kakiku. Aku diam, diriku dan Allah yang tahu. Aku berharap semoga hal ini kelak akan menjadi saksi di hari akhirat.
Tetapi setelah itu, lagi-lagi sisa-sisa jahiliyahku mencuat, lalu mengalirlah di batinku,
Mungkinkah kau masih mengharapkanku...
Kini tubuhku penuh dengan luka...
Potongan syair dari lagu Tommy J. Pisa yang sempat ngetop di masa aku eS-eM-Pe. Aku seolah-olah berbicara dengan sang mantan Ketua OSIS-ku itu. Suatu hal yang semestinya sangat tidak pantas dialami oleh lelaki yang sedang mengejar bidadari sejati di alam surga nanti. Yang sedang mengejar ridha Allah dan surga-Nya.
Sungguh aku tak mengerti mengapa hal seperti itu mesti terjadi dan kualami. Tidak ada faktor pendukung secara lahir, baik dari personal, aktivitas lingkungan, yang dapat memancing kenangan itu hadir kembali. Pada sorenya, segera kuingat pesan Umar bin Khattab, “Hisablah dirimu sendiri sebelum kamu dihisab di akhirat kelak...”
Ya, kini aku harus menghitung diri, instrospeksi atas segala apa yang terjadi dan kualami. Aku sangat mengerti bahwa mengingat wanita yang bukan mahram adalah termasuk zina hati. Mengenang masa lalu dengan mantan Ketua OSIS adalah juga termasuk dosa-dosa kecil yang akan mengotori hati. Tetap dosakah jika semua nostalgia itu datang secara surprise, tak dipaksa? Adakalanya kenangan itu tiba-tiba hadir saat mataku tertumbuk huruf Z, atau melihat kacamata. Kenapa? Ebiet G. Ade pasti tahu jawabannya…
Teori umum mengatakan bahwa kenangan atau lamunan, biasanya timbul saat kita tidak memiliki kesibukan atau ketika waktu senggang. Tetapi aku tidak, justru kenangan itu timbul di saat-saat aku sibuk, di saat tanganku menyandang kalashinkov, di tengah gelegar mortar, di tengah hujan peluru dan bau mesiu. Saat menghisab diri yang entah untuk kesekian kali, hampir selalu tak ketemu jawaban. Mengadu pada teman sebaya, atau konsultasi pada senior? No! aku bukan tipe seperti itu. “Solve Yourself Problem !” Itu mottoku. Hanya Allah, hanya Allah, dan hanya Allah yang Maha Tahu. Dialah tempat mengadu.
Akhirnya... Di musim salju tahun kedua, kujumpa jawabannya. Gerangan apa? “SEBAB AKU ADALAH MANUSIA.”
Rabbi...
Telah aku berdoa pada-Mu
Dalam hampir tiap-tiap waktuku.
Aku berkata pada-Mu
Cabutlah segala rinduku, kecuali kerinduan pada-Mu
Dalam simpuh dan sujudku
Selalu aku mengadu
Jangan gugurkan pahalaku
Hanya karena secuil rindu yang mengganggu
Robbie...
Jika Kau takdirkan peluru menembus ulu hatiku
Dan lalu aku menjumpai-Mu
Terimalah ke-syahidanku
Telah aku bertaubat, atas segala kenangan yang kuingat.
Ini ada peluru, ini ada mesiu
Aku rindu Ayah Bunda, aku rindu Si Dia,
Tetapi aku lebih rindu pada-Mu
Saat musim salju tiba
Maka rindu pun menjelma
La hawla wala quwwata illa billah...
Label:
Kisah Mujahid
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !